PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN
AGAMA ISLAM
Nama: Sumawanto SH
Npm:B1A109121
No Hp:
Alamat:Kepahiang
Di poskan Melalui Akun facebook ‘’ https://www.facebook.com/groups/423495077672031/
‘’
2 juni 2012
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI BENGKULU
I.
PENDAHULUAN
- A. Latarbelakang Masalah
Untuk
melaksanakan Tugas dari mata kuliah Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas
Bengkulu dari Dosen Pembibing Ibu EMILIA KONTESA.SH.Mhum maka penulis membuat
makalah ini.
Sesuai hakekat manusia yang
membedakannya dengan mahluk hidup lainnya, sudah menjadi kodrat alam sejak
dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya didalam suatu
pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
baik yang bersifat jasmani maupun bersifat rohani.
Pada umumnya, pada suatu masa
tertentu bagi seorang pria maupun sorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup
bersama dengan manusia lainnya yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama
antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-sayarat
terentu disebut perkawinan.
Perkawinan ini disamping merupaka
sumber kelahiran yang berarti obat penawar musnahnya manusia karena kematian
juga merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan
masyarakat dan negara. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita
tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap
kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota masyarakat
lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mangatur tentang hidup
bersama itu.
Dalam wacana dikotomi publik-privat,
perbincangan seputar perkawinan cenderung dianggap sebagai wilayah privat.
Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam
konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki
kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi
memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai
satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan
sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai
institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan
menciptakan tertib warganya.
Pada masyarakat sekarang, suatu
perkawinan dianggap sah apabila telah mendapat pengakuan dari negara. Cara
untuk mendapatkan pengakuan itu sering berbeda-beda diantara negara yang satu
dengan negara yang lain. Di dalam Negara Republik Indonesia sebagai
negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama adalah “Ketuhanan
Yang Maha Esa” maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama atau kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur
lahir atau jasmani tetapi juga mengandung unsur batin atau rohani, disamping
itu pula perkawinan mempunyai peranan yang penting, terlebih-lebih sejak
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana didalam
pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian peranan agama dan
kepercayaan semakin lebih diteguhkan didalam hukum positif kita. Dengan adanya
pasal 2 ayat (1) tersebut pelaksanaan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing telah merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya
suatu perkawinan. Tidak ada persoalan apabila perkawinan hanya dilakukan antara
orang-orang yang seagama atau sekepercayaan.
Mengingat dinegara kita hidup serta
diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila
kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan antar orang-orang yang
berbeda agama atau kepercayaan.
- B. Maksud dan Tujuan.
Selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Perdata, penulisan ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan hukum baik bagi penulis sendiri maupun untuk umum.
Penulisan ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui pengertian, tujuan dilakukannya, syarat dan rukun
perkawinan menurut agama Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh warga
negara Indonesia Disamping itu secara khusus sesuai dengan rumusan
permasalahan, tujuan penulisan ini adalah :
-
Untuk mengetahui pandangan agama Islam tentang perkawinan antar agama tersebut
?
- C. Identifikasi Masalah
Dari hal-hal yang telah diuraikan
dalam latar belakang tersebut dapat dilihat bahwa mengingat dinegara kita hidup
serta diakui berbagai macam agama dan kepercayaan, maka tidak mengherankan
apabila kita sering menjumpai atau mendengar adanya perkawinan antar
orang-orang yang berbeda agama atau kepercayaan.
Berdasarkan uraian diatas maka
penulis melakuan identifikasi masalah sebagai berikut :
- Pandangan Agama Islam tentang perkawinan antara agama
II. TINJAUAN
TEORITIS
Perkawinan yang istilah agama
disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan
diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
antar kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak
untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang di ridhoi oleh Allah. swt
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dalam pasal 1 merumuskan pengertian “perkawinan adalah sebagai ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga
(3) karakter yang khusus, yaitu :
- Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.
- Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
- Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perkawinan antar agama adalah ikatan
lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda
agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai
syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya
masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
II.
PEMBAHASAN
Pandangan
agama Islam terhadap perkawinan antara agama
Perkawinan menurut agama Islam,
ialah pelaksanaan, peningkatan dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam
hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah
satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk
memenuhi nalurinya dalam hubungan sexuil, untuk melanjutkan keturunan yang sah
serta mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan
keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan kedamaian baik didalam
kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Menurut agama Islam, proses hubungan
sexuil manusia harus berjalan dengan semangat kerukunan dan kedamaian dengan
menghormati hak-hak azasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan
wanita untuk menempuh kehidupan yang baik di dunia.
Arti perkawinan menurut istilah ilmu
fiqh dipakai perkataan “nikah” dan perkataan “ziwaaj”. Nikah menurut bahasa
mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz). Arti yang
sebenarnya dari pada nikah adalah “dham” yang berarti “menghimpit”, “menindih”
atau “berkumpul” sedangkan arti kiasannya ialah “wathaa” yang berarti “setubuh”
atau “aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.
Dalam pada itu, perkawinan yang
disyariatkan agama Islam mempunyai beberapa segi, diantaranya ialah :
- Segi ibadah
Perkawinan menurut agama islam
mempunyai unsur-unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan
sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari
agamanya.
Sabda Rasulullah SAW :
“Barang
siapa yang telah dianugerahi Allah isteri yang saleh, maka sesungguhnya ia
telah mengusahakan sebahagian agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada
bahagian yang lain”
(H.R.
Thabrani dan Al Hakim dan dinyatakan shaheh sunatnya)
- Segi hukum
Perkawinan yang menurut disyariatkan
agama Islam merupakan suatu perjanjian yang kuat, sebagaimana Firman Allah SWT
:
“Bagaimana
kamu akan mengambil harta yang telah kamu berikan kepada bekas isterimu,
padahal sebagian kamu telah bercampur (bergaul) dengan yang lain sebagi suami
isteri. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari kamu janji yang kuat.
(Q.S An-Nisa : 21)
Sebagi perjanjian, perkawinan
mempunyai beberapa sifat :
- Perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
- Akibat perkawinan, masing-masing pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu terikat oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan ditentukan persyaratan berpoligami bagi suami-suami yang hendak melakukannya.
- Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu dapat dirobah sesuai dengan persetujuan masing-masing pihak dan tidak melanggar batas-batas yang ditentukan agama.
Perkawinan bukan semacam jual beli.
Dalam jual beli ada keseimbangan antar nilai jumlah uang yang ditentukan bagi
sipembeli dengan barang yang diserahkan oleh penjual
- Segi sosial
Hukum Islam memberikan kedudukan sosial
yang tinggi kepada wanita (isteri) setelah dilakukan perkawinan, ialah dengan
adanya persyarat bagi seorang suami untuk kawin lagi dengan isterinya yang
lain, tidak boleh suami mempunyai isteri lebih dari empat, adanya ketentuan hak
dan kewajiban suami dan isteri dalam rumah tangga, dan sebagainya. Perkawinan
dilakukan untuk membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencitai dan
rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Keluarga-keluarga yang
seperti inilah yang akan merupakan batu bata, semen, pasir, kapur dan
sebagainya dari hubungan umat yang dicita-citakan oleh agama Islam. Karena itu
Rasulullah SAW melarang kerahiban, hidup menyendiri dengan tidak kawin yang
menyebabkan hilangnya keturunan, keluarga dan melenyapkan umat.
Agama Islam memandang dan menjadikan
perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik dan teratur sebab
perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja tetapi di ikat juga
dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut ajaran Islam perkawinan itu tidaklah hanya
sebagai suatu persetujuan biasa melainkan merupakan suatu persetujuan suci,
dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling
meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Tujuan perkawinan ialah :
- Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan
- Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
- Memperoleh keturunan yang sah
- Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan
menumbuhkan aktivitas dalam berusaha
mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Hukum Islam mengatur tentang
syarat-sayarat dan rukun perkawinan menurut firman Allah dalam Al-Quran (yang
tidak dapat dirubah dan berlaku sepanjang masa) dan Al-Hadits.
Adapun perbedaan syarat-syarat dan
rukun perkawinan Islam yaitu bahwa syarat-syarat merupakan hal-hal yang harus
dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan, sedangkan rukun perkawinan merupakan
hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan.
Rukun perkawinan Islam terdiri dari
:
- Harus ada calon suami dan isteri, atau wakilnya
- Harus ada wali dan calon isteri, atau wakilnya
- Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat.
- Adanya ijab-qabul
Adapun syarat-syarat perkawinan
yaitu :
- Adanya persetujuan dari kedua calon suami isteri dan dari wali calon isteri
- Beragama Islam, cukup dewasa dan sehat pikirannya
- Tidak ada hubungan kekeluargaan sedarah yang terlampau dekat
- Tidak ada hubungan semenda
- Tidak ada hubungan sepersusuan
- Calon isteri tidak terikat dalam suatu tali perkawinan
- Tidak ada perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri.
Syarat-syarat perkawinan Islam
tentang tidak adanya perbedaan agama antar calon suami dan calon isteri
tersebut diatas hanya berlaku mutlak bagi wanita Islam.
Dalam Al-Quran surat Al-Um,
Rasulullah SAW mengharamkan perkawinan wanita Islam dengan pria yang bukan
Islam.
Adapun alasan melarangn perkawinan
antara sorang wanita Islam dengan pria yang bukan Islam adalah disebabkan
karena wanita bersifat lemah hati dan mudah tersinggung perasaannya serta
karena kebanyakan wanita berada dibawah kekuasaan pihak laki-laki, maka
dikhawatirkan wanita Islam itu murtad meninggalkan Islam.
Bagi pria Islam, Al-Quran surat
Al-Maidah ayat 5 menyatakan bahwa diperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan
perempuan bukan Islam asal saja perempuan itu ahli kitab.
Pria Islam yang ingin menikah dengan
wanita yang beragama Jahudi dan Kristen, yaitu wanita-wanita yang berpegang
teguh kepada Kitab Suci Taurat dan Kitab Suci Injil dapat diperkenankan atau
tidak dilarang asal pihak laki-laki Islam itu kuat imannya dan rajin ibadahnya,
baik moral dan mempunyai wibawa dalam rumah tangga, dapat membina rumah tangga
serta mendidik isterinya sehingga lambat laun bisa menerima agama Islam dan
menjalankannya secara baik.
Perkawinan dianggap sah apabia
diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah memenuhi
syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif
Apakah Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974 memperbolehkan atau melarang perkawinan antar agama ? Menurut tafsir dan penjelasan Ibu Emilia
Kontesa,SH.Mhum.Pengajar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Bengkulu,bahwa
perkawainan antar agama tidak dibenarkan dan tidak dianjurkan. menurut UU
Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 dan pasal 2 tersebut yang dapat jadikan sebagai
pedoman, yaitu :
.
pasal 1 “perkawinan adalah
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
- Pasal 2 ayat (1) perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan
hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya
tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Hal ini berarti undang-undang
menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan
syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh negara.
Jadi apakah suatu perkawinan
dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi
syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh
hukum agamanya masing-masing.
- Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada larangan-larangan yang
secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari
hukum masing-masing agamanya.
Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan
antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap
perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8
(f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk
menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada
hukum agama itu sendiri. Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan
tersebut sepenuhnya kepada ketentuan agama masing-masing pihak.
IV. PENUTUP
Dari urain diatas, dapat disimpulkan
adanya tiga prinsip pokok pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan
antar pemeluk agama Islam dengan orang-orang yang bukan agama Islam, yaitu :
- Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang yang beragama menyembah berhala, polytheisme, agama-agama yang tidak mempunyai kitab suci, dan dengan kaum atheis.
- Melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria bukan Islam
- Mengenai perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita bukan muslim yang ahli kitab, terdapat tiga macam pendapat yaitu :
-
Melarang secara mutlak
-
Memperkenankan secara mutlak
-
Memperkenenkan dengan syarat yaitu apabila pria muslim itu kuat imannya
serta rajin ibadahnya.
Serta dari ketentuan UU Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum
agama itu sendiri. Oleh karena didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
tidak diatur secara tegas mengenai
masalah perkawinan antar agama tersebut, disamping itu apabila kita teliti maka
kita hanya dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pasalpun baik secara
tersurat maupun tersirat yang melarang atau membolehkan dilakukannya perkawinan
antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada tidaknya larangan terhadap
perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama itu sendiri.
TINJAUAN
PUSTAKA
1. UU
RI NOMOR I TAHUN 1974 Penerbit Kesindo Utama -Surabaya
2. TARJAMAH
ALQUR’AN AL KARIM. Oleh M.SAID Penerbit Al-ma’arif –Bandung.
3. FIQIH,ZIKIR
DAN DO’A .Penerbit Sinar Baru Algensindo-Bandung
4. WWW.YAHOO.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar