A. Definisi WarisAl-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman: "Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16) "... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58) Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.: 'Ulama adalah ahli waris para nabi'. Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i. Pengertian PeninggalanPengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta PeninggalanDari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya. 2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan." Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya. Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak. Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris. 3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya. Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang." 4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian). Catatan: Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
B. Derajat Ahli Waris
Antara ahli
waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan.
Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
C. Bentuk-bentuk Waris
Pada bagian
berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.
D. Sebab-sebab Adanya Hak WarisAda tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
E. Rukun WarisRukun waris ada tiga:
F. Syarat Waris
Syarat-syarat
waris juga ada tiga:
Syarat
Pertama:
Meninggalnya pewaris
Yang
dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara
hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli
warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap
seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang
hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim
memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini
harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang
masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya.
Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah
ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya,
pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara
syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak
untuk mewarisi.
Sebagai
contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi
meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat
saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini
oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam
suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha
menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat
Ketiga:
Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal
ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami,
istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah
bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum
waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang
pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung,
saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum
bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang
karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub),
serta ada yang tidak terhalang.
G. Penggugur Hak WarisPenggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:1. BudakSeseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.2. PembunuhanApabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. " Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya." Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris. Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam. 3. Perbedaan AgamaSeorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim) Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya). Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam. Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad? Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional. Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjubAda perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub. Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya. Contoh Pertama Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah. Contoh Kedua Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris. H. Ahli Waris dari Golongan Laki-lakiAhli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak.Catatan Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya. I. Ahli Waris dari Golongan WanitaAdapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.Catatan Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya. III. PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL-QUR'ANJUMLAH bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat SetengahAshhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:
1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta
warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak
laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun
bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari
harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak
mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan
pewaris, dengan dua syarat:
4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)
5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan
peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat SeperempatAdapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut: "... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12) 2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut: "... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12) Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan. C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat SeperdelapanDari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT: D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris
yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris
ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
Ketentuan
ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:
1. Dua anak
perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni
anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"...
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per
tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal
penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang
ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak
perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini
merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis
Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana
diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits
tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah
'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat
tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan
menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per
tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Pewaris tidak mempunyai anak
kandung, baik laki-laki atau perempuan.
b. Pewaris tidak mempunyai dua orang
anak kandung perempuan.
c. Dua cucu putri tersebut tidak
mempunyai saudara laki-laki.
3. Dua
saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan
persyaratan sebagai berikut:
a. Bila pewaris tidak mempunyai anak
(baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
b. Dua saudara kandung perempuan (atau
lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
c. Pewaris tidak mempunyai anak
perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah
firman Allah:
"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua
saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan
syarat sebagai berikut:
a. Bila pewaris tidak mempunyai anak,
ayah, atau kakek.
b. Kedua saudara perempuan seayah itu
tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
c. Pewaris tidak mempunyai anak
perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara
kandung (baik laki-laki maupun perempuan).
Persyaratan
yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian
dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan,
hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung
(baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama
bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal
..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara
perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam
pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)
E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian
Sepertiga
Adapun
ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua,
yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu
berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
"... dan jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh
ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus
bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab
--sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab
dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'.
Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua
orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang
menunjukkan kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:
"Jika
kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan
mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
Adapun dalilnya adalah firman Allah:
"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)
Catatan
Yang
dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut
adalah 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan
dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat
an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki
dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat
bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.
Selain itu,
ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum
syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata
bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara
saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus
memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian
saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas
ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun
perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara
laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara
laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.
Masalah 'UmariyyatanPada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga".Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya. Contoh PertamaSeorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian setengah (1/2) dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:Pokok masalahnya dari 6
Contoh KeduaSeorang suami meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri mendapat bagian seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu mendapat bagian tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.Pokok masalahnya dari 4
Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a.. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri. Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu". Jadi, menurut hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.
F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun
asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang.
Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek
asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.
1. Seorang
ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik
anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "...
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang
kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris
mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak
--dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah
seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan
yang akan saya rinci dalam bab tersendiri.
3. Ibu akan
memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan
dua syarat:
a. Bila pewaris mempunyai anak
laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.
b. Bila pewaris mempunyai dua orang
saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung,
seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian
seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak
perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian
setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris
mendapat seperenam (1/6), sebagai pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah
hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari
r.a. ditanya tentang masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak
perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara
perempuan. Abu Musa kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat
bagian separo (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi bagian saudara
perempuan."
Merasa
kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud.
Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah
diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan
pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian
seperenam (1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara
perempuan pewaris."
Mendengar
jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan
memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah
sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah
kalian."
Catatan
Cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6)
dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak
laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu,
pewaris juga tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika
lebih dari satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per
tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.
5. Saudara
perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6),
apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya
sama denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan
dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau
lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung
memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6)
yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
6. Saudara
laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing seperenam
(1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya)
"jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta". Dan
persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan
tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau perempuan).
7. Nenek
asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai
ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur
ayah maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka.
Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan
ijma' seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan
meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk
menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu
dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya
kepada para sahabat Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah
mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah
saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan
al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya
seperenam (1/6). Wallahu a'lam.
IV. DEFINISI 'ASHABAHKATA 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (Yusuf: 14) Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa. Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah. Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing. A. Dalil Hak Waris Para 'AshabahDalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah. Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." (an-Nisa': 176). Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah. Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.: "Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari) Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah. Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar". B. Macam-macam 'Ashabah'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain). Catatan Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs. 'Ashabah bin nafs'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
Hukum 'Ashabah bin nafsTelah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya. Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut: Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri. Kedua: Pentarjihan secara Derajat Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki. Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris. Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya. Catatan Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman. Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada garis ayah.Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya) "dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11). Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak. Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut). Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka takut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan kepada ayahnya. Wallahu a'lam. Catatan Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan (kerabat). 'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh. Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak sederajat. Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah. Catatan Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah). Dalil Hak Waris 'Ashabah bi GhairihiDalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12). Sebab Penamaan 'Ashabah bi GhairihiAdapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.'Ashabah ma'al Ghair'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan." Dalil 'Ashabah ma'al GhairYang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo."Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau seayah." Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian." Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair. Catatan Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun yang seayah. Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya. Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut: Contoh PertamaSeseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:Pokok masalahnya dari 2
Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah. Contoh KeduaSeorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:Pokok masalahnya dari 4
Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara kandung. Contoh KetigaSeseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:Pokok masalahnya dari 3
Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah. Contoh KeempatSeseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:Pokok masalahnya dari 6
Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya. Catatan Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi 'ashabah. C. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al GhairDari uraian sebelumnya dapat kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah setiap wanita ahli waris yang termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya. Misalnya, anak perempuan menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki pewaris). Saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah bil ghair dengan adanya saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah. Dalam hal ini bagi yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.Adapun 'ashabah ma'al ghair adalah para saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan, dan dalam hal ini mereka mendapatkan bagian sisa seluruh harta peninggalan sesudah ashhabul furudh mengambil bagian masing-masing. Tampak semakin jelas perbedaan antara dua macam 'ashabah itu, pada 'ashabah bil ghair selalu ada sosok 'ashabah bi nafsih, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan dalam 'ashabah ma'al ghair tidak terdapat sosok 'ashabah bi nafsih. Jadi, secara ringkas, pada 'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih menggandeng kaum wanita ashhabul furudh menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan 'ashabah ma'al ghair tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan sekandung atau seayah tidak menerima bagian seperti bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian saudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya. Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?Kita mungkin sering mendengar pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal ini memerlukan jawaban. Maka dapat ditegaskan bahwa seseorang bisa saja mendapatkan warisan dari dua arah yang berlainan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai 'ashabah, atau satu dari arah fardh dan yang kedua dari arah karena rahim. Agar persoalan ini lebih jelas, saya sertakan contoh:Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan seorang suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka pembagiannya sebagai berikut: Untuk nenek seperenam (1/6), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), suami setengah (1/2) sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suami sebagai 'ashabah karena ia anak paman kandung. Contoh lain: seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan dua anak perempuan, bibi (saudara ibu) yang salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya seperti berikut: sang istri mendapat bagian seperempat sebagai fardh-nya karena adanya ikatan perkawinan, dan hak lainnya ialah ikut mendapat bagian sisa yang ada karena ikatan rahim. V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)A. Definisi al-HujubAl-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15) Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti. Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna menemui para penguasa atau pemimpin. Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan. Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya. B. Macam-macam al-HujubAl-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang. Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya. Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya. Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan. Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub HirmanAda sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus mendapatkan warisan.Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub HirmanSederetan ahli waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:
Saudara Laki-laki yang BerkahApabila anak perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat ataupun yang lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki dapat menyeret cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak mendapat fardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang berkah atau saudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu laki-laki, cucu perempuan tidak akan mendapat warisan.Kemudian, apabila saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada saudara laki-laki seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya menjadi 'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah, sebab tanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak akan menerima hak waris mereka. Saudara Laki-laki yang MerugikanKalau sebelumnya saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah, maka kini saya akan menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang merugikan. Disebut saudara laki-laki yang merugikan karena keberadaannya menyebabkan ahli waris dari kalangan wanita tidak mendapatkan warisan. Padahal, apabila saudara laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris. Agar lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.Pertama: Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami seperempat (1/4) bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah juga seperenam (1/6) bagian, anak perempuan setengah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3) karena merupakan bagian wanita. Seandainya dalam kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka gugurlah hak cucu perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki dari cucu perempuan keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia mengapa ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang merugikan". Kedua: Untuk lebih memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang merugikan. Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah, anak perempuan, serta cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami memperoleh seperempat (1/4) bagian karena istri mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6) bagian, ayah seperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan tidak mendapat bagian. Itulah contoh tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak merugikan karena memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh kedua, cucu perempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara laki-laki yang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak laki-laki. Ilustrasi seperti itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu perempuan keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan posisi cucu laki-laki keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki seayah. Maka, saudara perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai saudara laki-laki seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara laki-laki seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa. C. Tentang Kasus KolektifMenurut kaidah yang biasa dikenal dan dipakai ulama faraid, pembagian harta waris dimulai dengan ashhabul furudh, kemudian baru kepada para 'ashabah. Para ulama menyandarkan kaidah ini pada hadits Rasulullah saw. (artinya): "Berikanlah hak waris kepada ashhabul furudh, dan sisanya diberikan kepada kerabat laki-laki yang lebih dekat."Namun demikian, dalam masalah ini ternyata terjadi sesuatu yang kontradiktif, sesuatu yang keluar dan menyimpang dari kaidah aslinya. Masalah ini dikenal juga dengan istilah "kasus musytarakah" (kasus kolektif). Sementara itu, di sisi lain masalah ini telah memancing perbedaan pendapat sejak masa para sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Contoh permasalahannya sebagai berikut; seorang wanita wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu (atau lebih dari dua orang), dan dua orang saudara kandung laki-laki (atau lebih dari dua orang). Pembagiannya adalah seperti berikut: suami mendapat setengah (1/2) bagian dikarenakan pewaris tidak mempunyai anak secara fardh, ibu mendapat seperenam (1/6) bagian disebabkan pewaris mempunyai dua orang saudara laki-laki atau lebih, dan dua orang saudara seibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Sedangkan saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan bagian karena ia sebagai 'ashabah --sedangkan harta waris yang dibagikan telah habis. Berdasarkan kaidah yang berlaku, saudara kandung laki-laki sebenamya memiliki kekerabatan lebih kuat dibandingkan saudara laki-laki seibu, tetapi pada kasus ini justru terjadi sebaliknya. Karena, masalah ini merupakan kasus kolektif, selain sebagai masalah yang menyimpang dari kaidah aslinya, juga karena para sahabat, tabi'in, serta para imam mujtahidin --dalam contoh kasus seperti ini-- menyatakan bahwa saudara kandung laki-laki disamakan dengan saudara laki-laki yang seibu, hingga mereka mendapat sepertiga (1/3) bagian dan dibagikan secara rata di antara mereka (termasuk saudara kandung laki-laki). Di samping itu, masalah ini juga menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejak masa para sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Perbedaan Pendapat Para FuqahaDalam masalah musytarakah (kolektif) ini ada dua kubu pendapat yang masyhur dalam hal membagi hak waris sebagaimana contoh kasus tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa hak waris saudara kandung digugurkan sebagaimana mengikuti kaidah yang ada. Pendapat ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas, dan lainnya.Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa hak waris pada saudara kandung dikolektifkan dengan hak waris para saudara laki-laki seibu. Pendapat ini dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Utsman, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat pertama dianut dan diikuti oleh mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan pendapat yang kedua diikuti dan dianut oleh mazhab Maliki dan Syafi'i. Selain itu, masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan "umariyah", karena Umar bin Khathab pernah memvonis masalah ini --juga pernah dikenal dengan sebutan Himariyah, Hajariyah, dan Yammiyah. Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar bin Khathab r.a.. Umar baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan memvonis: saudara kandung tidak mendapat bagian hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahun berikutnya, masalah ini diajukan kembali kepadanya. Ketika ia hendak memvonis seperti tahun lalu, proteslah salah seorang ahli warisnya: "Wahai Amirul Mukminin, sungguh mustahil bila ayah kami dianggap keledai atau batu yang terbuang di sungai. Bukankah kami ini anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu dan berpikir bahwa apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis dengan memberi hak kepada mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secara bersamaan dan dibagi sama rata. Contohnya adalah sebagai berikut: Asal masalah dari enam 6 naik menjadi 18
Persyaratan Masalah Kolektif
Beberapa Kaidah PentingHak waris banul a'yan (saudara kandung laki-laki/perempuan), dan banul 'allat (saudara laki-laki/perempuan seayah), serta banul akhyaf (saudara laki-laki/perempuan seibu) akan gugur (terhalangi) oleh adanya anak laki-laki pewaris, cucu laki-laki (keturunan anak laki-laki), dan ayah. Hal ini merupakan kesepakatan seluruh ulama.Menurut mazhab Abu Hanifah hak mereka juga digugurkan oleh adanya kakek pewaris. Sedangkan menurut ketiga imam mazhab yang lain tidaklah demikian. Masih menurut mazhab Hanafi, hak waris banul akhyaf digugurkan dengan adanya anak perempuan pewaris, cucu perempuan keturunan anak laki-laki pewaris, dan seterusnya. Kaidah yang lain ialah bahwa banul akhyaf mendapatkan hak waris secara merata pembagiannya antara yang laki-laki dengan yang perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah (artinya) "mereka bersekutu dalam yang sepertiga." VI HAK WARIS KAKEK DENGAN SAUDARAA. Pengertian Kakek yang SahihMakna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke dalam nasab laki-laki, maka kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulah kakek yang sahih."B. Hukum Waris antara Kakek dengan SaudaraBaik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek yang sahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang masalah warisan kakak yang sahih dengan saudara."Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib: "Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah ia memvonis masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara." Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakek dan saudara itu tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits Nabi yang menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka, masalah ini memerlukan ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat mengkhawatirkan mereka, karena jika salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya mempunyai hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orang yang sebenamya tidak berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan dengan materi, atau hukum tentang hak kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalau-kalau berlaku zalim dan aniaya. Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan materi ini. Dia menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di kalangan umat manusia, khususnya para ahli waris. Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya ijtihad para salaf ash-shalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga serta dibukukan secara lengkap dan detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akan memudahkan setiap orang yang ingin mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad yang dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta dapat dijadikannya sandaran dalam berfatwa. C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris KakekPara imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaan dengan saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua mazhab.Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara --baik saudara kandung, saudara seayah, ataupun seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling 'tinggi'. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata 'ashabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau habis. Misalnya, jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah anak. Bila 'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arah saudara, kemudian barulah arah paman. Lebih lanjut golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah --mencakup kakek dan seterusnya-- lebih didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak waris para saudara akan terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak waris oleh saudara bila ada ayah. Mazhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Hanafi. Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki/perempuan dan saudara laki-laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang seayah, sama seperti halnya ayah. Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan mencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandung kemudian di antara mereka ada yang tidak diberi. Alasan lain yang dikemakakan mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara --yang jelas lebih muda daripada kakek--terhadap harta jauh lebih besar ketimbang para kakek. Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan kepada para kakek, kemudian ia wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah kepada anak-anaknya yang berarti paman para saudara. Dengan demikian para paman menjadi ahli waris, sedangkan para saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak mendapat warisan dari saudaranya yang meninggal. Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal, dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan Ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim. D.Tentang Mazhab JumhurUntuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama-- maka saya perlu mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan saudara, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dan sebagainya. Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain, seperti ibu, istri, dan anak perempuan. Hukum Keadaan PertamaBila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul furudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya --agar lebih banyak memperoleh harta warisan-- dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan cara pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga (1/3) harta warisan. Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan cara pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi haknya.Makna PembagianMakna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara kandung, ia mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki. Apabila kakek berhadapan dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara kandung laki-laki. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan memilih cara mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Pembagian yang Lebih Menguntungkan KakekAda lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:
Pada keadaan pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3). Pada keadaan kedua kakek mendapat setengah (1/2). Pada keadaan ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5). Pada keadaan keempat kakek mendapat setengah (1/2). Pada keadaan kelima kakek mendapat dua per lima (2/5). Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian. Pembagian dan Jumlah 1/3 yang BerimbangAda tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu sebagai berikut:
Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan KakekSelain dari delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga (1/3) kepada sang kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan tiga orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini kakek mendapat sepertiga (1/3), dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian wanita.Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akan dirugikan karena akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan. Catatan Hukum tentang hak waris saudara laki-laki dan perempuan seayah ketika bersama dengan kakek --tanpa saudara kandung laki-laki atau perempuan-- maka hukumnya sama dengan hukum yang saya jelaskan di atas. Hukum Keadaan KeduaBila kebersamaan antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh yang lain --yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek dapat memilih salah satu dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian, menerima sepertiga (1/3), atau menerima seperenam (1/6) dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat bagiannya tidak kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau bahkan kurang, maka tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh, dan para saudara kandung digugurkan atau dikurangi haknya. Ketetapan ini telah menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.Adapun bila cara pembagian --setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya-- bagian sang kakek lebih menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu. Dan jika sepertiga (1/3) sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah bagiannya yang telah ditentukan syariat. Contoh Keadaan KeduaContoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya setengah (1/2) karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakak seperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.Pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan cara pembagian. Sebab dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam (1/6). Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandung laki-laki dan dua saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa harta yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan. Dalam contoh kedua ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan sepertiga dari sisa harta setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat sepertiga (1/3) dari lima per enam (5/6). Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek, kakek, dan tiga saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagi anak perempuan setengah (1/2), nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6), dan sisanya dibagikan kepada para saudara kandung perempuan sesuai jumlah orangnya secara rata. Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami, kakek, dan empat saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat seperempat (1/4), lima anak perempuan mendapat dua per tiga (2/3), dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid. Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu, dan sepuluh saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: untuk kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), dan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam. Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apa-apa sebab ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada. E. Bila Saudara Kandung dan Seayah Mewarisi bersama KakekPersoalan yang saya jelaskan sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila hanya bersamaan dengan saudara kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakek jika ia tidak hanya bersama dengan saudara kandung, tetapi sekaligus bersama dengan saudara seayah. Untuk keadaan seperti ini, ulama faraid menyatakan bahwa para saudara seayah dikategorikan sama dengan saudara kandung, mereka dianggap satu jenis.Apabila pemberian dilakukan secara pembagian, keberadaan saudara seayah dalam keadaan seperti ini dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun setelah kakek mendapatkan bagian, seluruh sisa harta waris yang ada hanya menjadi hak para saudara kandung -- sebab jika saudara kandung dan seayah bersama-sama, maka saudara seayah mahjub, haknya menjadi gugur. Akan tetapi, jika saudara seayah mewarisi bersama kakek dan seorang saudara kandung perempuan, maka para saudara laki-laki seayah akan mendapatkan bagian sisa harta yang ada, setelah diambil hak saudara kandung perempuan (1/2) dan hak kakek (1/3). Agar persoalan ini tidak terlalu kabur dan membingungkan saya sertakan beberapa contoh kasus. Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut: kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan saudara kandung laki-laki memperoleh dua per tiga (2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah mahjub (terhalangi) karena adanya saudara kandung laki-laki. Dalam contoh pertama, saudara laki-laki dikategorikan sebagai ahli waris, karena itu bagian kakek sepertiga (1/3), hak saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3), sedangkan saudara laki-laki seayah terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih kuat dan dekat, yakni saudara kandung laki-laki. Jumlah sepertiga (1/3) bagi kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah yang ada: "hendaklah kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang paling menguntungkannya, mendapat sepertiga harta waris atau dengan cara pembagian". Kebetulan dalam kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek menghasilkan bagian yang sama, yaitu sepertiga. Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung perempuan, kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, sedangkan sisanya diberikan kepada para saudara laki-laki dan perempuan seayah --dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Pada contoh kedua ini, saya langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3), tanpa menggunakan cara pembagian. Karena sebagaimana telah saya kemukakan bahwa keberadaan para saudara laki-laki/perempuan seayah sebagai perugi, yakni merugikan kakek pada cara pembagian. Kalaulah pemberian kepada kakak dalam contoh ini menggunakan cara pembagian, tentu hal ini akan merugikannya karena ia akan menerima bagian kurang dari sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh sebab itu, saya berikan haknya dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga (1/3). Setelah itu saya berikan hak waris saudara kandung perempuan setengah secara fardh, karena ia lebih kuat dan lebih dekat kekerabatannya terhadap pewaris dibandingkan para saudara laki-laki/perempuan seayah. Sisanya barulah untuk mereka. Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek memperoleh dua per enam (2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara kandung laki-laki. Dalam hal ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada saudara kandung, dan keberadaannya hanya merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian. Catatan Pada contoh ketiga --seperti telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-laki/perempuan seayah merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kemudian, dalam masalah ini kita berikan nasib (bagian) saudara perempuan seayah sebanyak dua per enam (2/6), dan itu menjadi bagian saudara laki-laki kandung, sebab saudara perempuan seayah gugur haknya oleh adanya saudara laki-laki kandung. Bila kita lihat secara seksama akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkan kakek dalam hal ini adalah cara pembagian, bukan dengan cara menerima sepertiga (1/3) sisa harta waris setelah diambil ashhabul furudh -- dalam contoh ini adalah ibu. Barangkali untuk lebih memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan tabelnya. Masalahnya 12
Masalahnya 12 dan naik menjadi 36
Apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara laki-laki/perempuan seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab, seperti yang telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hak waris saudara seibu. Dan hak waris saudara seibu hanyalah bila pewaris sebagai kalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah dan seterusnya) dan tidak pula mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya). Di samping itu, hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak waris dari keturunan para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karena adanya kakek. Misalnya, bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakek serta anak saudaranya, maka seluruh warisannya menjadi hak kakek. F. Masalah al-AkdariyahIstilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari bani Akdar.Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah --yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup mengotori mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan kemahirannya dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris dan memvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur. Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, kakek, dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah yang telah disepakati seluruh fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendirimaka pembagiannya adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab, suami mendapat setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya hanya seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian kakek yang tidak mungkin digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidak ada sisa harta waris. Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Dia memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan masalahnya dari enam (6) menjadi sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak saudara kandung perempuan dengan saham kakak, dan membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita. Setelah ditashih, masalahnya menjadi dua puluh tujuh (27), dan pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian, ibu enam (6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4) bagian. Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit, sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut. Berikut ini saya sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya hingga setelah ditashih. Masalahnya adalah dari enam (6)
Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)
Dalam masalah al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada salah satu yang diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam. VII. MASALAH AL 'AUL DANAR-RADDA. Definisi al-'AulAl-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3) Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'. Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris. Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang. Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah. B. Latar Belakang Terjadinya 'AulPada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris-- tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya. Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw. C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kanPokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8). Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian. Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya kemukakan semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para ashhabul furudh. Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kanSebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja. Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah". Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah yang di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya. Beberapa Contoh Masalah 'Aul
Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:
Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian. Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh. Catatan
D. Definisi ar-RaddAr-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna 'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku). Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul. Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing. E. Syarat-syarat ar-RaddAr-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-RaddAr-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris yang ada.Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
G. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-RaddAdapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.H. Macam-macam ar-RaddAda empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam itu:
Hukum Keadaan PertamaApabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang sama --yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama. Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan ar-radd. Misal lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama. Hukum Keadaan KeduaApabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak ada salah satu dari suami atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya, bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang dijadikan pokok masalah, yakni tiga.Contoh-contoh keadaan kedua
Hukum keadaan KetigaApabila para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok masalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata. Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari empat, karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri, yang bagiannya dalam keadaan demikian seperempat (1/4). Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan setelah ditashih pokok masalahnya menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkan seperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya --tiga puluh lima bagian-- dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan pewaris, berarti masing-masing menerima tujuh bagian. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan. Dalam hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat (1/4) bagian, sedangkan sisanya --tiga per empat (3/4)-- dibagi secara merata untuk keempat anak perempuan pewaris. Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena itu, pokok masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas berarti empat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara merata kepada keempat anak perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak memperoleh tiga bagian. Hukum keadaan KeempatApabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di dalamnya terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita harus menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).Untuk lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh kasusnya: Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima
(yakni dari jumlah bagian yang ada).
Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian. Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri.Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu. Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi. Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah. Contoh lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu. Pada ilustrasi pertama --tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari enam, dan dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada. Sedangkan dalam ilustrasi kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari delapan, karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri. Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per delapan (7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara fardh dan radd. Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalah pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut. Kini, setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka bagian istri adatah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia mendapat lima (5) bagian. Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yang tersisa tiga puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian kedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian. Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama (satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berarti tujuh (7) bagian. Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan, ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut: Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri
VIII. PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHANMENGETAHUI pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh. Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh. Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala. Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya. Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya. Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda). Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda. Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian: Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8). Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4). Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar. Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam. Lihat diagram: Pokok masalah dari enam (6)
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah. Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini: Pokok masalah dari dua belas (12)
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila ternyata masih tersisa. Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya: Pokok masalah dari 24
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya. A. Tentang TashihAgar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan. Yaitu, at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur), at-tawaafuq (saling bertautan), dan at-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).Apabila pokok masalah --harta waris-- dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini memerlukan pentashihan pokok masalahnya. Definisi TashihTashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.Definisi at-TamaatsulAt-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga berarti sama dengan tiga, dan lima sama dengan lima, dan seterusnya.Definisi at-TadaakhulAt-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari "keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27) dengan angka sembilan (9).Definisi at-TawaafuqAt-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka 8 dengan 6 keduanya dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka 30 sama-sama dapat dibagi oleh angka 6. Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat dibagi oleh angka 4, demikian seterusnya.Definisi at-TabaayunAt-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau saling berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yang satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan angka 4, angka 8 dengan 11, angka 5 dengan 9.Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, kita bandingkan pengertiannya dengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang kecil --tetapi dibagi angka yang lain-- maka kedua bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua bilangan tersebut adalah mutamaatsilan. B. Cara Mentashih Pokok MasalahSetelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam. Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu). Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid. Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah. Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca dapat lebih memahaminya. Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalahSeseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.).Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian. Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian. Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul. Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah. Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah. Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian. Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27). Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:
Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut: Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
C. Pembagian Harta PeninggalanAt-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer. Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli waris. Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing ahli waris. Contoh Cara PertamaSeseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah. Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian.
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian). Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
Masalah Dinariyah ash-ShughraAda dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
Masalah Dinariyah al-KubraAdapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak kurang." Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab. IX. HUKUM MUNASAKHATA. Definisi MunasakhatAl-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut: "... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-Jatsiyah: 29) Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut: "Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (al-Baqarah: 106) Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah. Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan sosok ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah. Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama. Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima waris dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.
B. Rincian Amaliah al-Munasakhat
Sebelum kita
melakukan rincian tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih dahulu harus
melakokan langkah-langkah berikut:
Sebagai
contoh, seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudara
kandung perempuan, dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian salah
seorang saudara kandung perempuan itu meninggal. Berarti ia meninggalkan
seorang saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari tiga (3). Ketiga anak perempuan
mendapat 2/3 (2 bagian). Dan sisanya (satu bagian) merupakan hak para 'ashabah
(yakni dua saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki).
Kemudian
kita lihat jumlah per kepalanya ada tabayun (perbedaan), maka 3 x 4 = 12.
Kemudian angka ini kita kaLikan dengan pokok masalahnya, berarti 3 x 12 = 36.
Bilangan inilah yang kemudian menjadi pokok masalah hasil pentashihan. Jadi,
pembagiannya seperti berikut: ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (24 bagian),
dan sisanya (12 bagian) dibagikan untuk dua orang saudara kandung perempuan dan
seorang saudara kandung laki-laki, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali
bagian anak perempuan, jadi setiap saudara kandung perempuan mendapat tiga (3)
bagian, dan saudara laki-laki kandung enam (6) bagian.
Kemudian,
kita lihat antara bagian pewaris kedua (yaitu 3) dengan pokok masalahnya (juga
dari 3) ada kesamaan (tamatsul). Karena itu, al-jami'ah di sini sama dengan
hasil pentashihan pada masalah yang pertama (yakni dari 36).
Kemudian,
hak waris/bagian saudara kandung perempuan yang meninggal (3 bagian) hanya
dibagikan kepada ahli waris, yaitu seorang saudara kandung perempuan dan
seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian, hasil pembagian itu ditambahkan
pada hasil bagian mereka yang pertama. Maka, bagian saudara kandung perempuan
menjadi empat (4): tiga (3) bagian --yang diperolehnya dari masalah pertama--
ditambah dengan bagian yang berasal dari saudara kandung perempuan yang
meninggal, yaitu satu (1) bagian (3 + 1 = 4).
Sedangkan
saudara kandung laki-laki mendapatkan dua (2) bagian, yang kemudian ditambahkan
dengan perolehannya dari peninggalan pada masalah pertama, yaitu enam (6)
bagian. Maka saudara laki-laki kandung memperoleh delapan (8) bagian.
Adapun tiga
anak perempuan pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidak mendapatkan hak
waris, disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai keponakan pewaris kedua, yakni
anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris kedua. Karena itu, mereka mahjub.
Berikut ini saya sertakan tabelnya:
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki. Kemudian cucu tersebut meninggal dengan meninggalkan suami,
ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut:
Pokok
masalahnya dari dua puluh empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian), ibu 1/6
(4 bagian), cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian), sedangkan
sisanya (lima bagian) merupakan bagian ayah sebagai jumlah 'ashabah. Jumlah
semuanya adalah dua puluh empat (24) bagian.
Kemudian,
kita lihat al-jami'ah dalam masalah ini sama dengan pokok masalah pertama,
yaitu dua puluh empat (24). Hal ini karena kita dapati bagian pewaris kedua
(cucu perempuan keturunan anak laki-laki) dalam masalah pertama ada tamatsul
(kesamaan) dengan pokok masalah yang kedua. Dalam keadaan demikian, kaidah yang
berlaku di kalangan ulama faraid adalah kita menjadikan pokok masalah pertama
sebagai al-jami'ah, yang berarti bagian pewaris kedua hanya dibagikan kepada
ahli warisnya. Oleh sebab itu, kita tidak lagi membuat al-jami'ah yang baru,
tetapi cukup menjadikan al-jami'ah yang pertama itu berlaku pada masalah kedua.
Berikut ini tabelnya:
Contoh yang
memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkan suami, ayah, ibu,
dan dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkan saudara kandung
perempuan, ibu, istri, dan saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut:
Pokok
masalahnya dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
Sedangkan pokok masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjadi
tiga belas (13).
Suami
mendapatkan seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkan seperenam
(1/6) berarti dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu yakni seperenam (1/6),
berarti dua bagian.
Kemudian dua
anak perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan (8) bagian.
Jumlahnya lima belas (15) bagian.
Kemudian,
antara masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah
(perbedaan), karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan
pokok masalah yang kedua (yakni 13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x
13 = 195) merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua masalah.
Lalu kita
tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang mendapat tiga bagian) di atas
pokok masalah kedua, dan ini merupakan juz'us sahm (bagian dari bagian hak
waris). Juz'us sahm ini kemudian kita kalikan dengan bagian tiap-tiap ahli
waris yang ada, maka akan merupakan hasil bagian ahli waris dari al-jami'ah
(penyatuan dari dua masalah). Untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah kedua
ini, kita lihat hasil perkaliannya: perkalian antara juz'us sahm yaitu tiga (3)
dengan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39. Maka angka 39
ini merupakan jumlah bagian seluruh ahli waris dalam masalah kedua. Lihat tabel
berikut:
Catatan
Kemungkinan
besar dapat pula terjadi adanya al-jami'ah lebih dari satu. Misalnya, dalam
suatu keadaan pembagian waris salah seorang ahli warisnya wafat sebelum
pembagian, kemudian ada lagi yang meninggal, dan seterusnya. Maka jika terjadi
hal seperti ini, kita tetap harus menempuh cara seperti yang telah kita tempuh
dalam al-munasakhat, takni kita tempatkan tashih kedua pada posisi pertama, dan
tashih ketiga pada posisi kedua, dan seterusnya. Dan hasilnya dinamakan
al-jami'ah kedua, al-jami'ah ketiga, dan seterusnya.
Untuk
menjelaskan hal ini perlu kiranya saya kemukakan contoh tentang bentuk
al-jami'ah yang lebih dari satu ini. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan
suami, saudara perempuan seibu, dan paman kandung (saudara ayah). Kemudian
suami wafat dan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, ayah, dan ibu. Kemudian anak perempuan juga meninggal, dan
meninggalkan nenek, dua saudara kandung perempuan, dan dua saudara laki-laki
seibu. Perhatikan tabel berikut:
C. At-Takharuj min at-TarikahYang dimaksud dengan at-takharuj min at-tarikah ialah pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar'i). Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.Syariat Islam juga memperbolehkan apabila salah seorang ahli waris menyatakan diri tidak akan mengambil hak warisnya, dan bagian itu diberikan kepada ahli waris yang lain, atau siapa saja yang ditunjuknya. Kasus seperti ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau "menggugurkan diri dari hak warisnya". Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf r.a. adalah seorang sahabat yang mempunyai empat orang istri. Ketika ia wafat, salah seorang istrinya, Numadhir binti al-Asbagh, menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil hak waris sekadar seperempat dari seperdelapan yang menjadi haknya. Jumlah yang diambilnya --sebagaimana disebutkan dalam riwayat-- ialah seratus ribu dirham. Tata Cara PelaksanaannyaApabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau menyatakan hanya akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada dua cara yang dapat menjadi pilihannya. Pertama, ia menyatakannya kepada seluruh ahli waris yang ada, dan cara kedua, ia hanya memberitahukannya kepada salah seorang dari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama.Cara pertama: kenalilah pokok masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian ahli waris yang mengundurkan diri, sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dan sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang ada itulah pokok masalahnya. Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Kemudian sebagai misal, pewaris meninggalkan sebuah rumah, dan uang sebanyak Rp 42 juta. Kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah, dan menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah Rp 42 juta itu. Dalam keadaan demikian, maka warisan harta tersebut hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayah. Lalu jumlah bagian kedua ahli waris itulah yang menjadi pokok masalahnya. Rincian pembagiannya seperti berikut: Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24), kemudian kita hilangkan (ambil) hak istri, yakni seperdelapan dari dua puluh empat, berarti tiga (3) saham. Lalu sisanya (yakni 24 - 3 = 21) merupakan pokok masalah bagi hak ayah dan anak perempuan. Kemudian dari pokok masalah itu dibagikan untuk hak ayah dan anak perempuan. Maka, hasilnya seperti berikut: Nilai per bagian adalah 42.000.000: 21 = 2.000.000 Bagian anak perempuan adalah 12 x 2.000.000 = 24.000.000 Bagian ayah 9 x 2.000.000 = 18.000.000 Total = 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000Cara kedua: apabila salah seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkan hakuya lalu memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya, maka pembagiannya hanya dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya. Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang saudara laki-laki yang diberinya hak bagian. Perhatikan tabel berikut:
X. HAK WARIS DZAWIL ARHAMA. Definisi Dzawil ArhamArham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman:"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1) "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22) Rasulullah saw. bersabda: "Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya) Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya. B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil ArhamPara imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah. Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah. Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah: 1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah batil. 2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun." Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain. 3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat. Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah: "... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75) Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya hubungan darah. Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang baitulmal. Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain: "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7) Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan. Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris. Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir. Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah. Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda: "(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya." Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu tamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh. Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim. Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah. Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah. Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan. Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini. Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal. Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam." Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini. C. Cara Pembagian Waris Para KerabatDi antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.1. Menurut Ahlur-RahmiMengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada. Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits. 2. Menurut Ahlut-TanzilGolongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti berikut:
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu). Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka. Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris. 3. Menurut Ahlul QarabahAdapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita. Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:
Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul QarabahDari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul QarabahTelah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham
Beberapa Catatan Penting:Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila bersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:
a.
Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya,
pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan,
dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan
adalah cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya.
Catatan lainDi antara persoalan yang perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberian hak waris terhadap para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian perempuan, seperti halnya dalam pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.PenutupItulah sekelumit mengenai hak waris para dzawil arham menurut mazhab ahlul qarabah yang merupakan mazhab imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama mazhab Hanafi. Pendapat ini banyak diterapkan di sebagian negara Arab dan negara Islam lainnya.Sebenamya, di kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang cara pembagian masing-masing kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf dan Imam Muhammad (keduanya murid dan teman dekat Abu Hanifah, penj.). Namun, saya tidak mengemukakannya di sini sebab akan bertele-tele dan menjenuhkan. Oleh karenanya, bagi yang menghendaki pengetahuan lebih luas dalam masalah ini dapat merujuknya pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang banyak diamalkan adalah pandangan mazhab ahlut-tanzil sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudian dianut oleh ulama muta'akhirin mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena dari segi pengamalannya memang lebih mudah. XI. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMILA. Definisi BanciPengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki." Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya. Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada-- -disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh. Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil. Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan. Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya." Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi. Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat keluarnya air seni."
B. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci
Ada tiga
pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada
banci musykil ini:
C. Hukum Banci dan Cara Pembagian WarisnyaUntuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris. Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya. Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci1. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan seorang anak banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima (5), sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pokok masalahnya dari empat (4). Kemudian kita menyatukan (al-jami'ah) antara dua masalah, seperti dalam masalah al-munasakhat. Bagian anak laki-laki adalah delapan (8), sedangkan bagian anak perempuan empat (4), dan bagian anak banci lima (5). Sisa harta waris yaitu tiga (3) kita bekukan untuk sementara hingga keadaannya secara nyata telah terbukti.2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki banci. Pokok masalahnya dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagai wanita, kemudian di-'aul-kan menjadi delapan (8). Sedangkan bila sang banci dianggap sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dari enam (6) tanpa harus di- 'aul-kan. Dan al-jami'ah (penyatuan) dari keduanya, menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat (24). Sedangkan pembagiannya seperti berikut: suami sembilan (9) bagian, ibu enam (6) bagian, saudara laki-laki banci tiga (3) bagian, dan sisanya kita bekukan. Inilah tabelnya:
3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah banci. Maka pembagiannya seperti berikut: Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua (2), sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok masalahnya dari tujuh (7), dan penyatuan dari keduanya menjadi empat belas (14). Bagian suami enam (6), saudara kandung perempuan enam (6) bagian, sedangkan yang banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua (2) bagian dibekukan. Ini tabelnya:
D. Definisi HamilAl-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat. Dikatakan: "al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanita itu hamil apabila ia sedang mengandung janin).Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula) ..." (al-Ahqaf: 15) Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam masalah hamil ini ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris, dan pada kesempatan ini saya hanya akan utarakan secara global. Hanya kepada Allah saya memohon pertolongan. Pada pembahasan sebelumnya --tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah saya kemukakan bahwa salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat. Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu setelah bayi itu lahir. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat --menyangkut kemaslahatan sebagian ahli waris-- yang mengharuskan kita untuk segera membagi harta warisan dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada masing-masing ahli waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang ada.
E. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam
kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
Syarat
pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya
bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi
yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan
Aisyah r.a.:
"Tidaklah
janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada
dalam falkah mighzal."
Pernyataan
Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah
saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu
pendapat Imam Ahmad.
Adapun
mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal
empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad,
seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan
persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan
nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru
lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau
yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan
gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun
menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim
ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup
menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan
hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan
demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila
bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka
hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan
Tirmidzi)
Namun,
apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika
keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam
keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia
dianggap tidak ada.
F. Keadaan JaninAda lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
Keadaan PertamaSeluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4). Keadaan KeduaSeluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada.Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan paman kandung. Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk dzawil arham. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi saudara laki-laki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada. Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6) di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada. Tabelnya seperti berikut:
Keadaan KetigaApabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya --hanya saja hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan bisa perempuan)-- maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing.Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub. Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalam dua kategori (laki-laki dan perempuan).
Keadaan Keempat Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada secara sempurna. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.
Keadaan KelimaApabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata tidak ada 'ashabah. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki tidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah. XII HAK WARIS ORANG YANG HILANG, TENGGELAM, DAN TERTIMBUNA. DefinisiAl-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtu asy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya kehilangan bila tidak mengetahui di mana sesuatu itu berada). Kita juga bisa simak firman Allah SWT berikut:"Penyeru-penyeru itu berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." (Yusuf: 72) Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati. Hukum Orang yang HilangPara fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang/menghilang, di antaranya: istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum -- telah mati, dan hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati.Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya." B. Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau MatiAda perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini terutama para ulama dari mazhab yang empat.Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal rimbanya dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati dengan melihat orang yang sebaya di wilayahnya --tempat dia tinggal. Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah sembilan pulah tahun (90). Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah tujuh puluh tahun (70). Hal ini didasarkan pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad saw. antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam --hingga tidak dikenal rimbanya-- dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dugaan yang dapat mengenali keberadaannya atau mendapatkan informasi secara jelas melalui sarana dan prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sang hakim memberikan batas bagi istrinya selama empat puluh tahun untuk menunggu. Bila masa empat puluh tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan atau dikenali rimbanya, maka mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimana lazimaya istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Bila usai masa idahuya, maka ia diperbolehkan untuk menikah lagi. Sedangkan dalam mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang adalah sembilan puluh tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebaya di wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi'i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi'i, seorang hakim hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak lagi dikenal rimbanya sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu --kebanyakan orang tidak hidup melebihi waktu tersebut. Sementara itu, mazhab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau menjadi salah seorang penumpang kapal yang tenggelam-- maka hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah empat tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa idahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai. Namun, apabila hilangnya orang itu bukan dalam kemungkinan meninggal, seperti pergi untuk berniaga, melancong, atau untuk menuntut ilmu, maka Imam Ahmad dalam hal ini memiliki dua pendapat. Pertama, menunggu sampai diperkirakan umurnya mencapai sembilan puluh tahun Sebab sebagian besar umur manusia tidak mencapai atau tidak melebihi sembilan puluh tahun. Kedua, menyerahkan seluruhnya kepada ijtihad hakim. Kapan saja hakim memvonisnya, maka itulah yang berlaku. Menurut hemat penulis, pendapat mazhab Hambali dalam hal ini lebih rajih (lebih tepat), dan pendapat inilah yang dipilih az-Zaila'i (ulama mazhab Hanafi) dan disepakati oleh banyak ulama lainnya. Sebab, memang tidak tepat jika hal ini hanya disandarkan pada batas waktu tertentu, dengan alasan berbedanya keadaan wilayah dan personel. Misalnya, orang yang hilang pada saat peperangan dan pertempuran, atau banyak perampok dan penjahat, akan berbeda halnya dengan orang yang hilang bukan dalam keadaan yang demikian. Karena itu, dalam hal ini ijtihad dan usaha seorang hakim sangat berperan guna mencari kemungkinan dan tanda-tanda kuat yang dapat menuntunnya kepada vonis: masih hidup atau sudah mati. Inilah pendapat yang lebih mendekatkan kepada wujud kemaslahatan. C. Hak Waris Orang HilangApabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan di antara ahli warisnya ada yang hilang tidak dikenal rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung laki-laki, saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang. Posisi anak laki-laki dalam hal ini sebagai "penghalang" atau hajib hirman apabila masih hidup. Karena itu, seluruh harta waris yang ada untuk sementara dibekukan hingga anak laki-laki yang hilang telah muncul. Dan bila ternyata telah divonis oleh hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka barulah harta waris tadi dibagikan untuk ahli waris yang ada. Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, dan dua saudara perempuan seayah. Posisi saudara kandung bila masih hidup adalah sebagai haiib bagi seluruh ahli waris yang ada. Karenanya untuk sementara harta waris yang ada dibekukan hingga hakikat keberadaannya nyata dengan jelas. Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara dua keadaan orang yang hilang (sebagai ahli waris yang hidup atau yang mati, atau mirip dengan pembagian hak waris banci). Maksudnya, bila ahli waris yang ada --siapa saja di antara mereka-- yang dalam dua keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara sempurna (tanpa dikurangi atau dilebihkan, atau tanpa ada yang dibekukan). Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi (yakni keadaan hidup dan matinya), maka mereka diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun. Sebagai contoh, seseorang wafat dan maninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki seayah, dan saudara kandung laki-laki yang hilang. Dalam keadaan demikian, bagian istri adalah seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dan sisanya (yakni yang seperenam) lagi untuk sementara dibekukan hingga ahli waris yang hilang telah nyata benar keadaannya, atau telah divonis sebagai orang yang sudah meninggal. Sedangkan saudara laki-laki yang sesyah tidak mendapat hak waris apa pun. Dalam contoh tersebut, tampak ada penyatuan antara ahli waris yang tidak berbeda bagian warisnya dalam dua keadaan orang yang hilang --yaitu bagian istri seperempat (1/4)--dengan ahli waris yang berbeda hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi, yaitu bagian ibu seperenam (1/6). Sebab bila ahli waris yang hilang tadi telah divonis hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka ibu akan mendapat bagian sepertiga (1/3). Contoh-contoh KasusSeseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara kandung laki-laki yang hilang, maka pembagiannya sebagai berikut:Dalam hal ini kita harus memboat dua cara pembagian, yang pertama dalam kategori orang yang hilang tadi masih hidup, dan yang kedua dalam kategori sudah meninggal. Kemudian kita menggunakan cara al-jami'ah (menyatukan) kedua cara tadi. Dari sinilah kita keluarkan hak waris masing-masing, kemudian membekukan sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
D. Hak Waris Orang yang Tenggelam dan TertimbunBetapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran). Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam menghadapinya.Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang teguh pada salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka --jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali". Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa dan merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah diri kepada-Nya. Perhatikan firman Allah SWT berikut: "... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un.'" (al-Baqarah: 155-156) Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam suatu waktu dua orang bersaudara bepergian bersama-sama menggunakan pesawat terbang atau kapal laut, lalu mengalami kecelakaan. Atau mungkin saja terjadi bencana alam yang mengakibatkan rumah yang mereka huni runtuh, sehingga sebagian anggota keluarga mereka menjadi korban. Maka jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentulah akan muncul persoalan dalam kaitannya dengan kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaan pemberian hak waris kepada masingmasing ahli waris? Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan TertimbunKaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang yang tenggelam dan tertimbun yaitu dengan menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah diketahui dengan pasti, pembagian waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak. Begitulah seterusnya.Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris. Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: "Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya." Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup. Sebagai contoh, dua orang bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu meninggalkan istri, anak perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkan yang satunya lagi meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki paman kandung (sepupu yang pertama disebutkan). Maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama setengah (1/2), dan sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah. Adapun bagian kedua anak perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya merupakan bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah. Misal lain, suami-istri meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak laki-laki. Suami-istri itu masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri pernah mempunyai anak laki-laki dari suaminya yang dahulu, begitupun sang suami telah mempunyai istri lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: Harta istri yang meninggal untuk anaknya, sedangkan harta suami yang meninggal seperdelapannya (1/8) merupakan bagian istrinya yang masih hidup, dan sisanya adalah untuk anak laki-lakinya dari istri yang masih hidup itu. Kemudian, harta ketiga anak laki-laki, seperenamnya (1/6) diberikan atau merupakan bagian saudara laki-laki mereka yang seibu, dan sisanya merupakan bagian saudara laki-lakinya yang seayah dengan mereka. Pembahasan tentang hak waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam atau tertimbun reruntuhan atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari buku ini. Semoga apa yang saya lakukan dapat memberikan banyak manfaat bagi para penuntut ilmu faraid, amin. Allahlah yang memberi taufik dan petunjuk kepada kita, dan saya akhiri pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb semesta alam. MUKADIMAHSegala puji bagi Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi. Dialah Yang Maha Kekal, tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah berfirman dalam Al-Qur'an:"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40) Semoga shalawat dan salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa cahaya, perintis kemanusiaan dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad saw. Dengannyalah Allah SWT menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dan dengannyalah Allah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kepada alam yang terang benderang. Semoga shalawat dan salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya, para sahabatnya, dan siapa pun yang mengikuti jejaknya. Buku ini merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris yang pernah saya berikan kepada para mahasiswa Fakultas Syari'ah di Mekah al-Mukarramah. Kemudian saya tergerak untuk mengumpulkan dan menyatukannya hingga menjadi buku dengan harapan dapat dimanfaatkan secara lebih luas. Buku ini saya susun dengan sistematika yang sangat sederhana dan tidak bertele-tele. Saya bermohon kepada Allah semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa, dan umumnya bagi seluruh kaum muslim yang memiliki keinginan untuk mengetahui dengan pasti mengenai faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untuk memenuhinya. I. AYAT-AYAT WARISALLAH SWT berfirman"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12) "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)
A. Penjelasan
Allah SWT
melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'--
menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk
menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci
syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang
yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap
ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan
pula ia menerimanya secara 'ashabah.
Perlu kita
ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya
berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris
secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal
ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris,
sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.
Allah Yang
Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan
aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli
waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan
hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan
kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta
tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang
lemah.
Imam
Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan
salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh
karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya
menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu
Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah
Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal,
dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua
orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima),
namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan
tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih jauh
Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini,
maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid
ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun
demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa kini)
mengabaikan dan melecehkannya."1
Perlu kita
ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para
ulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga
ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat
jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan
hukum dan syariat-Nya.
Di antara
kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang
berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?
Di dalam
Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para
kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti
diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah
berikut:
"Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan.
" (an-Nisa': 7)
"...
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"...
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang
Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu
(seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab
(Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah
ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari
ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.
Pada ayat
kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat
pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya
yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka
lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.
Telah
masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum
muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa
persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin
dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum
Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak
mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama
yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya,
dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka
setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan)
hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan
yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam
ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk
kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan
anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta
dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara
penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara
imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun
wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun
pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan
bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah
membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan
persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci
dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita
pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan
rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa':
11-12 dan 176).
Masih
tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang
bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian
kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di
samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun
materiil?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat
yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
Itulah beberapa
hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian
antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja
tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah
tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung
jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah
yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun
hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih
besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan
rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita
melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum
wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan
kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana
halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban
untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan
hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat
Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski
sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya
(keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun
wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang
berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam
hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya:
"...
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih
menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus
supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas
dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum
laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang
meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan.
Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka,
menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak
perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak
laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban
untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia
mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20
juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak
tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi
nafkah istrinya.
Adapun anak
perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang
mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp
1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu
juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon
suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk
membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang
banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang
berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan.
Jadi, harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan
anak laki-laki habis.
Dalam
keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih
banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah
wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki
dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
1 Tafsir
al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.
B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum IslamSebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak dapat diubah. Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang. Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'" Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris, karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki. Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanita tentang hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara menyamakan hak kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan warisan. Mereka yang memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum wanita agar mereka menjadi pembangkang dan pemberontak dengan menolak ajaran dan aturan hukum dalam syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan hak penerimaan warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki. Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka yang berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk bekerja demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya. Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat yang banyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur seperti itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka memandang kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan seizin kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan kaum wanita bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian, mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan membekukan hak wanita. C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat WarisBanyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad. Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu. Masih ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini. Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan. D. Kajian terhadap Ayat-ayat WarisPertama:Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan Rasulullah saw.. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya." Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya. Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya. Keempat: Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah. Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah? Kelima: Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara pembagian. Bagian suami:
Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). " Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama. Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara rata. Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara dua ayat. Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat --dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'. Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
A.
Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu
orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka
bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
Makna KalaalahPengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak. " Ketujuh: Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib dilaksanakan. Hukum Keadaan Saudara Kandung atau SeayahFirman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.
A.
Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai
satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat
separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak
mempunyai ayah atau anak.
II. WARIS DALAM PANDANGAN ISLAMSYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kamis, 24 Mei 2012
Hukum waris Islam
Published :
18.17
Author :
spider group
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ads 468x60px
Social Icons
Featured Posts
Bookmarks
Archive
Popular Posts
-
Hukum Waris Islam
-
>>PENGETAHUAN UMUM TENTANG HUKUM KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) KUHPer (Kitab undang-undang Hukum acara Perdat...
-
A. Definisi Waris Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya...
-
Panglima perang tentara Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur pernah menjadikan Pulau Zum Zum di Morotai, Maluku Utara sebagai tempat...
-
Daftar 10 Batas Negara Teraneh dan Terunik 10. Perbatasan Spanyol dan Maroko Ceuta seluas 18,5 kilometer persegi kota otonom d...
-
Pada 6 Juni lalu adalah peringatan 68 tahun D-Day. Foto-foto berwarna yang terbatas ini diambil sebelum dan sesudah pendaratan tentara S...
-
Ternyata keadaan Penjara Artalyta Suryani alias Ayin lebih mewah (dari Kamarku :red). Hehehe wah kayaknya saya baru tau dech kamar penja...
-
K ita mungkin sepakat bahwa betapapun berbakatnya seseorang, betapapun unggulnya sebuah produk, atau betapapun kuatnya sebuah kasu...
-
KOMUNIKASI YANG EFEKTIF KOMUNIKASI DAN MOTIVASI
-
Senin, 2 Mei 2011 - Bank Indonesia bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI men...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar